Minggu, 24 Februari 2008

Soal Atribut Bernada Provokatif, Pemantau Jangkar Pilkada Ancam Somasi

Harian FAJAR BANTEN

Senin, 24 Desember 2007


TIGARAKSA (FB).- Kelompok pemantau berakreditasi KPUD, Jaringan Karang Taruna Pemantau Pilkada (Jangkar Pilkada) mengancam bakal melayangkan langkah hukum ddengan melakukan somasi terhadap pihak tertentu yang ditengarai bertindak merugikannya.


Tindakan dimaksud, seperti dilontarkan Direktur Jangkar Pilkada, Gatot Yan, berupa pemasangan spanduk-spanduk di seluruh kecamatan wilayah Kabupaten Tangerang yang mengatasnamakan lembaga pemantau yang dipimpinnya.


Beberapa waktu lalu sempat muncul ratusan spanduk yang ditulis mengatasnamakan Jangkar Pilkada dengan kalimat “Birokrat, Camat, Lurah Tidak Netral, Apa Kata Dunia?”. Selain diruas jalan protokol, spanduk dengan bunyi seperti itu dipasang di beberapa tempat di 36 kecamatan. Berdasarkan kesepakatan pada rapat koordinasi antara Panwaslu, Satpol PP, Dinas Kebersihan, BPKD dan Dishub, kain rentang tersebut masuk kategori yang ditertibkan lantaran tidak memiliki izin dan bernada provokatif.


Melalui telepon genggam nya, Minggu (23/12) kemarin, Gatot Yan, membeberkan, pihaknya menangkap isyarat akan muncul atribut bernada mirip spanduk sebelumnya yang mengatasnamakan lembaganya. “Kami mencium gelagat serupa, malah tak menutup kemungkinan spanduk-spanduk semacam itu sudah dicetak dan siap pasang” ungkapnya. Kata Gatot Yan, jika pihak dimaksud nekad memasng, maka Jangkar Pilkada bakal menempuh upaya hukum. “Saya akan somasi mereka” ancamnya.


Menurut dia, Jangkar Pilkada berkepentingan menjaga integritas selaku salah satu lembaga yang telah mendapat akreditasi KPUD Kabupaten Tangerang untuk melaksanakan fungsi pemantauan terhadap setiap tahapan pilkada. Lembaganya, sambung Gatot, berkeinginan menegakkan komitmen dengan memberi perlakuan sama terhadap obyek pemantauan, apakah setiap pasangan calon berikut tim sukses masing-masing, lembaga penyelenggara pilkada atau panwaslu.


Menyoal keberadaan spanduk-spanduk bernada menyudutkan salah satu pihak yang dikait-kaitkan dengan lembaganya, Gatot Yan menyatakan, pihaknya siap menjelaskan semuanya. Malah, jika perlu Jangkar Pilkada menggelar jumpa pers di KPUD yang dihadiri personel KPUD, Kejaksaan, Kepolisian dan Panwas untuk menjelaskannya.


Guna mengantisipasi munculnya spanduk yang mengatasnamakan Jangkar Pilkada, dia mengimbau Panwaslu tingkat kecamatan untuk mengawasi serta melaporkan ke KPUD dan pihaknya. “Saya berharap kerjasama Panwaslu kabupaten dan kecamatan dengan kami menyangkut masalah ini” pungkasnya. (H-08)***


Pilkada Tangerang


Pilkada Tangerang, Ditemukan 45 DPT Bodong

Harian LAMPU MERAH
Senin, 31 Desember 2007


LAMPU MERAH- Sedikitnya 45 DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang tersebar di beberapa Kabupaten Tangerang ternyata bermasalah. Banyak pemilih terancam tidk bisa menyalurkan hak suaranya pada saat pencoblosan nanti. Yang lebih mengkhawatirkan, PT bermasalah tersebut disinyalir bisa dimanfaatkan pasangan calon, baik pada saat pencoblosan maupun usai penetapan pemenang pilkada nanti.

“Besar kemungkinan DPT bermasalah tersebut bisa memicu konflik. Karena bisa dimanfaatkan salah satu pasangan. Pada saat pencoblosan misalnya, DPT tersebut bisa saja dimanfaatkan salah satu pasangan calon untuk mendongkrak perolehan suara dengan cara curang” ujar Gatot Yan. S, Direktur Jangkar (Jaringan Karang Taruna) kemarin.

Lebih jauh dikatakan Gatot, DPT bermasalah tersebut pun bisa menjadi alasan bagi pasangan calon yang kalah pada pilkada nanti. “Saya khawatir pada saat penetapan pemenang nanti, pasangan yang kalah dan tidak terima dengan hasilnya akan menggugat dan mencari-cari kesalahan yang mengakibatkan kekalahannya. Salah satunya adalah menggugat DPT bermasalah tersebut” urai Gatot.

Indikasi adanya pemanfaatan DPT untuk kepentingan tertentu, kata Gatot memang sudah terliha pada saat penetapan DPS beberapa waktu lalu yang selalu tertunda dari jadwal yang sudah ditetapkan. “Kelalaian memang pada PPK dan PPS yang tidak cekatan dalam menyelesaikan DPT. Dan mereka (PPK dan PPS) pada saat menempelkan DPT di setiap kelurahan pun saya anggap lamban apalagi untuk mendaftarkan warga yang belum tercatat” tegas Gatot.

Pencegahan sedini mungkin, kata Gatot menjadi jalan terbaik agar tidak ada pihak-pihak yang memanfaatkan DPT tersebut. Karena setelah DPT ditetapkan tidak ada lagi penambahan daftar pemilih, yang harus dilakukan adalah mengawasi wilayah-wilayah yang DPT nya bermasalah secara lebih waspada. Transparansi pada wilayah-wilayah yang DPT nya bermasalah harus dilakukan agar tidak ada kecurangan dikemudian hari.

Permasalahan DPT pun menjadi tugas KPUD untuk menyelamatkan lembaganya pada saat pertanggung jawaban nanti. “Ini menjadi tugas dari KPUD untuk menyelamatkan dirinya nanti. Karena DPT ini bisa mengundang konflik besar” tandas Gatot. (Zat)


Privatisasi Pelayanan Publik

KOMPAS, Senin, 29 September 2003


PELAYANAN publik di Indonesia sulit diakses rakyat miskin. Demikian salah satu kesimpulan Bank Dunia yang dilaporkan dalam World Development Report 2004 (Kompas, 23/9/2003). Kesimpulan ini bukan hal baru. Bukan saja sulit diakses kelompok miskin, tetapi juga menjadi salah satu penyebab ekonomi biaya tinggi (high cost economy) yang membebani kinerja ekonomi kita.


Meski bukan hal baru, tetapi tingkat kemendesakan (urgency) persoalan ini tidak kalah penting dengan persoalan-persoalan lain. Menghadapi Pemilu 2004, perekonomian kita berada dalam stagnasi yang berlarut-larut. Meski ekonomi makro sudah relatif stabil, dan restrukturisasi sektor finansial sudah menuju babak akhir, tetapi sektor riil masih belum mulai bekerja. Kondisi ekonomi mikro masih jauh dari situasi pulih. Dan, dalam konteks ini, kualitas pelayanan publik menyumbang persoalan yang tidak kecil.


Sejak krisis, kita sering menganggap, bagian tersulit dalam mengelola perekonomian adalah meredam gejolak nilai tukar. Tetapi begitu kurs mulai stabil, inflasi terkendali, perbankan mulai bisa bekerja kembali, masalah terbesar kita kini adalah memacu investasi dan perdagangan. Kita juga mengira, isu ekonomi politik (polical-economy) hanya relevan dalam hal ekonomi makro dan restrukturisasi sektor finansial. Padahal, sektor ekonomi mikro menyimpan jauh lebih banyak persoalan birokratisasi yang penanganannya jauh lebih kompleks.


Laporan Bank Dunia mengenai kualitas pelayanan publik, meski bukan hal baru, tetapi mengingatkan, tanpa reformasi birokrasi pemerintahan, perekonomian kita akan mati suri. Hidup segan mati tak mau.


Privatisasi

Menanggapi kegagalan birokrasi dalam memberi layanan publik yang memadai, kita tergoda menawarkan solusi privatisasi. Privatisasi telah dianggap obat mujarab yang bersifat generik. Manjur untuk menyembuhkan segala penyakit. Studi-studi Bank Dunia acap kali mampu menunjukkan pokok perkara dengan amat jelas. Tetapi dari pengalaman selama ini, solusi yang ditawarkan cenderung menyederhanakan masalah.


Jika diekstrapolasi dengan rentetan kebijakan yang telah direkomendasikan, mungkin saja Bank Dunia akan merekomendasi untuk memprivatisasi birokrasi di Indonesia. Logikanya sederhana karena birokrasi gagal menyediakan layanan publik, maka serahkan saja pada swasta untuk mengelola layanan publik.


Privatisasi sebagai model pengelolaan (mode of governance) sedang menjadi kecenderungan global, seiring gejala liberalisasi dan globalisasi. Data berikut bisa memberi ilustrasi. Sepanjang periode 1980–1993, sebanyak 2.735 BUMN di negara-negara sedang berkembang telah diprivatisasi. Privatisasi di satu sisi telah mengakibatkan penetrasi modal asing di sisi lain. Akibat kebijakan privatisasi yang ditempuh negara-negara sedang berkembang, keterlibatan modal asing meningkat tajam dari sembilan persen (1988) menjadi 44 persen di tahun 1993.


Data-data tentang privatisasi masih bisa dilanjutkan dengan data mengenai melonjaknya peran swasta. Akibat gelombang privatisasi, peran perusahaan swasta menguat secara signifikan. Menurut World Investment Report 1993 yang diterbitkan Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) ada 37.000 perusahaan transnasional yang memiliki 170.000 anak perusahaan di luar negeri. Sebagian besar (90 persen) dari perusahaan-perusahaan transnasional itu berkantor pusat di negara-negara maju.


Privatisasi, melonjaknya arus investasi asing serta menguatnya peran TNC adalah setali tiga uang. Tahun 1992 total modal investasi langsung luar negeri seluruh dunia sebanyak 2 triliun dollar AS. Perusahaan-perusahaan transnasional yang mengontrol modal bertanggung jawab atas penjualan sebesar 5,5 triliun dollar AS di seluruh dunia. Dan, 100 perusahaan transnasional terbesar di dunia menguasai sepertiga dari modal ini.


Dari sederetan data-data itu, mungkin agak sulit menemukan kaitan langsung dengan persoalan buruknya pelayanan publik di Indonesia. Memang tidak ada hubungan langsung. Hal yang ingin disampaikan, gagalnya birokrasi dalam menyediakan layanan publik tidak serta-merta harus diserahkan kepada pihak swasta. Tentu saja, kita amat tergoda dengan logika sederhana privatisasi yang tengah marak di seluruh sektor ekonomi.


Berikut adalah fenomena lain yang perlu dicatat. Sejumlah mata air di kawasan Puncak, yakni di Kecamatan Ciawi, Mega Mendung, Cisarua (Kabupaten Bogor), dan Cipanas (Kabupaten Cianjur) dikuasai para pemilik vila yang kebanyakan pejabat dan orang kaya dari Jakarta. Akibatnya, di musim kemarau ini penduduk setempat yang umumnya petani semakin sengsara karena tak lagi mendapat cukup pasokan air (Kompas, 22/8/2003).


Fakta itu adalah sisi lain dari privatisasi. Meski dalam besaran ekonomi makro privatisasi dinilai amat menguntungkan, tetapi secara mikro privatisasi bisa menjadi penyebab penderitaan rakyat. Sebetulnya soal mata air adalah urusan pemerintah daerah, tetapi karena gejala privatisasi sengaja dibiarkan, keuntungan hanya dimiliki para pengelola vila. Tampaknya gejala yang sama juga terjadi dalam skala makro. Privatisasi telah mengakibatkan penguasaan aset perdagangan global berada di segelintir perusahaan transnasional yang berkantor pusat di negara maju.


"Governance"

Berikut adalah asumsi-asumsi penting yang harus dipenuhi. Pertama, investasi dan perdagangan sebagai realisasi dari pemulihan ekonomi tidak akan pernah tercapai jika tidak ada dukungan birokrasi yang menyediakan layanan publik yang memadai. Kedua, pelayanan publik tidak bisa serta-merta diserahkan kepada swasta. Karena ternyata persoalannya bukan pada aktor ekonomi, entah birokrasi pemerintah atau swasta, tetapi pada tata cara pengelolaan (governance).


Dari sudut pandang teoretis, keputusan untuk memprivatisasi bisa didasarkan perhitungan biaya transaksi yang diakibatkannya (transaction cost theory). Pertama-tama teori ini meyakini, organisasi ada karena memiliki biaya transaksi yang lebih rendah ketimbang dibiarkan mengikuti mekanisme pasar. Jadi pada satu titik, birokratisasi dalam organisasi dianggap lebih efisien. Tetapi jika organisasi sudah terlalu besar, dan biaya transaksi yang ditimbulkan sudah terlalu besar, sebaiknya diserahkan kembali kepada mekanisme pasar. Dalam organisasi korporasi, mekanisme ini dikenal dengan sebutan outsourching (menyerahkan divisi pekerjaan kepada pihak lain).


Dalam kaitannya dengan birokrasi pemerintahan di Indonesia, dari sudut pandang biaya transaksi, kemungkinan besar solusi paling rasional adalah menyerahkan banyak divisi pelayanan publik kepada pihak swasta. Kita lebih sering diuntungkan dengan bantuan agen untuk pengurusan SIM, KTP, Akta Kelahiran, Akta Perkawinan dan sebagainya. Hadirnya agen swasta dalam pelayanan publik merugikan dua pihak, penerimaan negara dan biaya tinggi bagi konsumen. Jadi karena rendahnya kualitas pelayanan publik, biaya transaksinya menjadi berlipat-lipat.


Akan tetapi, bukan berarti mekanisme pasar dengan sendirinya akan menekan biaya transaksi. Contoh paling sederhana adalah "skandal" Richard Grasso Chief Executive Officer (CEO) dari the New York Stock Exchange (NYSE) yang menerima gaji pokok 1,4 juta dollar AS. Pasar bisa amat semena-mena mengalokasikan sumber daya. Tidak hanya mengenai penjualan sumber air di kawasan Puncak, Bogor, namun juga skandal penggajian di sentral penjualan bursa dunia yang tidak menunjukkan rasa keadilan sama sekali.


Jadi, entah mekanisme pasar entah birokrasi pemerintahan, semuanya membutuhkan tata kelola yang baik (good governance). Dan jangan lupa, good governance adalah kunci yang sedang kita butuhkan untuk pemulihan ekonomi mikro yang tengah mengalami stagnasi yang berlarut-larut.



A Prasetyantoko Pengajar Kebijakan Bisnis di Unika Atma Jaya; Research Analyst pada The Center for Financial Policy Studies (CFPS), Jakarta

PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE

Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini:

1. Partisipasi Masyarakat

Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.

2. Tegaknya Supremasi Hukum

Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.

3. Transparansi

Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.

4. Peduli pada Stakeholder

Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.

5. Berorientasi pada Konsensus

Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.

6. Kesetaraan

Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.

7. Efektifitas dan Efisiensi

Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.

8. Akuntabilitas

Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.

9. Visi Strategis

Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.

KERTAS POSISI Masyarakat Peduli Pelayanan Publik

Latar Belakang


Kisah-kisah seputar penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia selama ini telah menjadi elegi berepisode yang menyayat hati setiap masyarakat sebagai penerima layanan. Analogi ini tidaklah berlebihan ketika melihat fakta rendahnya kualitas air yang disalurkan PDAM yang tak layak minum ataupun kereta api ekonomi jabotabek yang tak lagi berjendela ataupun tak berpintu dan runtuh atapnya. Belum lagi ketika menerobos ranah lain seperti rumah sakit yang tak bisa menyembuhkan penyakit karena setelah dioperasi, pasien harus terancam stress karena biaya pengobatan yang mahal. Bahkan di hampir seluruh pelosok tanah air terekam kisah-kisah tentang rendahnya kualitas penyelenggaraan pelayanan publik yang dapat membuat habis air mata untuk meratapinya.


Pelayanan publik perlu dilihat sebagai usaha pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat. Dalam kerangka ini penyelenggaraan pelayanan publik tidak hanya yang di selenggarakan oleh pemerintah semata tetapi juga oleh penyelenggara swasta. Maraknya paradigma
reinventing government yang dipromosikan Osborne dan Gabler mendorong semakin maraknya pelimpahan pelayanan publik ke tangan pihak ketiga baik swasta ataupun masyarakat. Sayangnya cita-cita efisiensi yang diharapkan oleh paradigma tersebut tak dapat tercapai lantaran terjebaknya masyarakat ke dalam mekanisme pasar yang membuatnya tersingkir. Imaji mengenai mekanisme pasar yang mengatasnamakan persaingan yang berdampak memposisikan public as rational chooser dan peningkatan kualitas pelayanan gagal ketika hanya memindahkan monopoli atas pelayanan dari pemerintah kepada swasta. Hal ini terjadi karena, swastanisasi menaikkan biaya yang harus ditanggung, sehinga masyarakat miskin tidak mampu mengakses layanan swasta karena daya beli rendah. Pelayanan publik di Indonesia jika ditelaah memiliki beberapa permasalahan mendasar.


Pertama,
rendahnya kualitas produk layanan. Tak dapat dipungkiri lagi kualitas produk layanan publik mendasar kualitas tak layak untuk digunakan oleh masyarakat. Walaupun akhirnya masyarakat tetap menggunakan produk tersebut dikarenakan ketiadaan alternatif layanan publik lainnya. Rendahnya kualitas dapat terlihat dalam beberapa pelayanan publik mendasar seperti air, lingkungan yang sehat, kesehatan, pendidikan dan transportasi. Ketersediaan air bagi masyarakat merupakan kebutuhan vital yang menopang hidup manusia. Kualitas air yang disalurkan PDAM tidak lagi layak untuk diminum seperti di Jakarta, Bandung, Surabaya dan sebagian kota di Jawa Tengah. Walaupun PDAM telah melakukan purifikasi air tetapi ketika pipa yang menyalurkan air telah berkarat, maka air yang diterima masyarakat tercemar. Sarana transportasi tak layak karena telah kehilangan sistem pendukung keamanan bagi penggunanya, contohnya insiden runtuhnya atap kereta bulan maret 2006.


Kedua,
rendahnya kualitas penyelenggaraan layanan. Jika dikaji, hal ini diakibatkan paradigma yang tidak memposisikan masyarakat sebagai tujuan sekaligus subyek dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Masyarakat diperlakukan sebagai pihak yang tidak memiliki daya tawar. Prosedur yang berbelit-belit, biaya mahal, ketiadaan standar pelayanan merupakan ciri umum penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia. Hak sipil warga sering dilanggar dalam proses pengurusan identitas penduduk seperti KTP dan PASPOR. Pembuatan KTP yang seharusnya mudah, dipersulit dengan banyaknya meja dan rangkaian prosedur yang harus dilalui. Birokratisasi di bidang kesehatan melahirkan cerita-cerita yang tak kalah memilukan, seorang pasien yang sudah dalam keadaan kritis harus menunggu kejelasan proses administratif sebelum mendapat perawatan yang layak dari pihak rumah sakit. Keluhan-keluhan seperti inilah yang sering muncul dari masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik terutama dari rendahnya kualitas penyelenggaraan pelayanan publik.


Ketiga,
ketiadaaan akses bagi kelompok rentan, penyandang cacat dan komunitas adat terpencil. Permasalahan ketiga inilah yang sering menjadi dasar permasalahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia. Sebagai ilustrasi dalam bidang kesehatan, perubahan fungsi sosial rumah sakit dan puskesmas menjadi lembaga korporasi kesehatan mengakibatkan hilangnya nilai kemanusiaan disamping biaya yang semakin mahal, padahal rumah sakit pemerintah menjadi tujuan terakhir kelompok rentan untuk mencari pengobatan. Banyak tenaga medis dan juga rumah sakit menanyakan kejelasan siapa yang akan menanggung pembiayaan perawatan pasien sebelum menangani pasien. Banyak pasien telah menjadi korban karena kelalaian petugas medis di rumah sakit diakibatkan oleh rendahnya kualitas kinerja petugas medis maupun paramedis.


Aksesibilitas pelayanan publik bagi kelompok penyandang cacat sangat minim. Hampir semua sarana dan prasarana publik, seperti jalan, gedung, toilet umum, jembatan penyeberangan, terminal, transportasi umum dan lain sebagainya, tak mempunyai fasilitas bagi penyandang cacat. Hal ini merupakan proses dehumanisasi dan peminggiran bagi penyandang cacat sehingga menjadi tergantung kepada orang lain, yang seharusnya dapat dilakukan dengan mandiri.


Ketiadaan akses terhadap pelayanan publik juga dirasakan oleh komunitas adat terpencil. Penyelenggarakan pelayanan publik bagi mereka memerlukan pendekatan tersendiri terhadap tata nilai, budaya serta kearifan lokal yang seharusnya menjadi prinsip dasar dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Contohnya adalah program lokalisasi pemukiman masyarakat Kubu di Jambi, sama sekali menafikan sistem sosial, budaya dan sistem mata pencarian asli mereka. Penyelenggaraan pelayanan publik yang mengatasnamakan modernisasi telah menjauhkan masyarakat adat dari budaya asal mereka dan jika tidak malahan menjauhkan mereka dari ketersediaan pelayanan publik itu sendiri.

Keempat, ketiadaan mekanisme komplain dan penyelesaian sengketa. Masyarakat tidak diposisikan sebagai subyek dalam penyelenggaraan pelayanan publik maka keluhan masyarakat tidak dianggap penting. Selama ini keluhan masyarakat berhenti di kotak saran yang tak jelas akan berakhir di tangan siapa. Beruntung ketika keluhan sempat mampir di meja aparat sebelum berpindah ke tangan petugas pembuang sampah. Tak hanya dalam penanganan keluhan, sengketa antar masyarakat sebagai penerima layanan dengan penyelenggara seringkali berakhir dengan kalahnya masyarakat ataupun proses hukumnya terkatung-katung di pengadilan.


Kelima,
ketiadaan ruang partisipasi publik dalam penyelenggaraan pelayanan. Partisipasi publik bertujuan untuk menempatkan masyarakat sebagai subyek. Penempatan kembali masyarakat sebagai subyek dalam pelayanan publik perlu dilakukan sebagai proses revisi terhadap penyelenggaraan pelayanan publik yang selama ini hanya dilakukan sepihak oleh pemerintah dengan tanpa melibatkan masyarakat dalam setiap prosesnya.


Tinjauan Teoritis


Good Governance dalam Pelayanan Publik


Berbagai pemahaman tentang tata pemerintahan yang baik sudah banyak didiskusikan. Paling tidak Canada International Development Agency (CIDA) mendefinisikan Tata Pemerintahan yang Baik sebagai berikut
1: dengan tata pemerintahan maksudnya adalah cara dimana kekuasaan digunakan oleh pemerintah dalam mengelola sumber daya ekonomi dan sosial di sebuah negara. Tata Pemerintahan yang “baik” adalah penggunaan kekuasaan di semua tingkatan pemerintah secara efektif, jujur, kesamaan, transparan dan akuntabel.


Menurut Research Triangle Institute (RTI), ada empat karakteristik untuk menempatkan tata pemerintahan yang “baik” itu yaitu:
pertama, legitimasi dalam hal penerimaan otoritas kekuasaan publik, termasuk di dalamnya segala aturan, proses dan prosedur yang ada. Kedua, akuntabilitas publik terhadap kekuasaan dan legitimasinya dengan memperhatikan proses pemegang kekuasaan dan prosedur dari pembuatan kebijakan. Ketiga, manajemen yang efektif dalam dimensi teknis. Efektivitas menjadi hal penting dengan mengacu birokrasi publik yang berdaya dan efisien, dalam menentukan prioritas dan sumber daya publik. Keempat, ketersediaan informasi antara semua lini termasuk kelompok masyarakat sipil dan pemerintah untuk menilai keefektifan dari kekuasaan dan birokrasinya.


Ada sepuluh prinsip tata pemerintahan yang baik yang menjadi acuan bagi pemerintah lokal di Indonesia
2 :


Pertama,
partisipasi; mendorong seluruh masyarakat untuk mengekspresikan hak-haknya serta pandangannya dalam proses pembuatan kebijakan terutama berkaitan dengan kepentingan publik, secara langsung atau tidak langsung.

Kedua, ketaatan hukum; menyadari penegakan hukum dimana kejujuran dan keadilan untuk semua, tanpa pengecualian, dengan menghormati hak-hak dasar umat manusia dan nilai nilai yang ada di masyarakat.

Ketiga, transparan; membangun kepercayaan antara pemerintah dan publik untuk mendapatkan akses informasi seluas-luasnya dengan jaminan informasi yang akurat.

Keempat, kesamaan; menyediakan kesamaan kesempatan kepada semua anggota dari masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Kelima, responsif; meningkatkan sensitifitas aparatur pemerintahan terhadap aspirasi publik.

Keenam, bervisi; mengembangkan wilayah berdasarkan visi dan strategi yang jelas dengan pelibatan partisipasi masyarakat dalam semua proses pembnagunan sehingga mereka memiliki rasa kepemilikan dan tanggung jawab terhadap kemajuan wilayahnya.

Ketujuh, akuntabilitas; meningkatkan akuntabilitas dari pembuat keputusan dengan melibatkan semua aspek kepentingan publik.

Kedelapan, supervisi; meningkatkan dukungan supervisi dalam operasional pemerintahan dan implementasi dari pembangunan dengan melibatkan sektor privat dan masyarakat umum.

Kesembilan, efisiensi dan efektivitas; memberi jaminan pelayanan publik dengan memanfaatkan semua sumber daya yang ada dengan secara optimal dan tanggung jawab.

Kesepuluh, profesional; meningkatkan kapasitas dan watak moral dari aparatur pemerintah sehingga mereka dapat menyediakan dan memberikan pelayanan yang mudah, cepat dan akurat.


Dalam konteks Good Governance tentu pelayanan publik membutuhkan kesiapan sumber daya manusia dan sumber daya lain untuk mendukung kesiapan pelayanan yang lebih prima. Karena dalam konteks Good Governance, pelayanan publik harus menempatkan masyarakat sebagai pengguna layanan yang harus dilayani dengan baik dan memuaskan. Menurut Zeithamal, Parasuraman dan Berry, dimensi kualitas pelayanan Publik adalah:


  1. tangible (bukti fisik); menyangkut kesiapan dari sarana dan pra sarana pendukung seperti sarana fisik, komputerisasi, adanya ruang tunggu dan lainnya.

  2. reliability (reliabilitas): menyangkut kemampuan dan keandalan untuk menyediakan pelayanan yang terpercaya terhadap konsumen, termasuk memberikan layanan akurat sejak pertama kali tanpa membuat kesalahan apapun dan menyampaikan jasanya sesuai dengan waktu yang disepakati..

  3. responsiveness (daya tanggap); kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan secara cepat dan tepat serta tanggap terhadap keinginan konsumen.

  4. Assurance (jaminan); kemampuan dengan keramahan, sopan santun pegawai dalam meyakinkan kepercayaan konsumen dengan tujuan pula menumbuhkan kepercayaan pelanggan dan menciptakan rasa aman bagi para konsumen.

  5. Emphaty (empati); memahami masalah para pelanggan dan bertindak demi kepentingan pelanggan, serta memberikan perhatian personil kepada para pelanggan dan memiliki jam operasi yang nyaman.


Inovasi Pelayanan Publik


Beberapa Inovasi Pelayanan Publik di daerah-daerah:


Jawa Timur

DPRD Jawa Timur telah membuat gebrakan yang memadai manakala ditemui kebuntuan aturan mengenai pelayanan publik, yaitu dengan menerbitkan Peraturan Daerah tentang Pelayanan Publik pada tahun 2005. konsep pelayanan publik yang harus diberikn oleh petugas dalam Perda ini harus memiliki paradigma melayani masyarakat sebaik-baiknya. Bahkan lembaga pengawas yang independen bernama Komisi Pelayanan Publik telah memiliki otoritas yang memadai untuk menindaklanjuti berbagai keluhan yang dihadapi oleh masyarakat hingga pada pemutusan perkara kepada penyedia layanan. Kewenangan yang luar biasa tersebut nantinya akan memaksa aparat pelayanan publik untuk terus memperbaiki kinerja dan meningkatkan mutu pelayanan.


Jembrana, Bali

Kabupaten Jembrana melakukan inovasi dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial rakyatnya melalui sektor pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Dalam sektor pendidikan, di semua tingkat pendidikan dasar hingga menengah untuk sekolah negeri biayanya gratis. Beasiswa juga bisa didapatkan untuk sekolah swasta. Salah satu langkah penting yang dilakukan adalah regrouping sekolah untuk efisiensi pengalokasian dana pendidikan. Terbukti dengan cara ini Jembrana berhasil menghemat sebesar Rp.3,3 Milyar untuk setahun. Bahkan sejak tahun 2001 hingga 2004, Jembrana telah menyelesaikan semua sekolah SD yang rusak dengan biaya Rp.8,4 milyar.


Dalam sektor kesehatan, biaya kesehatan di puskesmas,bidan, rumah sakit baik yang dikelola negeri atau swasta adalah gratis. Hal ini dimungkinkan dengan adanya asuransi kesehatan bagi seluruh masyarakat Jembrana yang memiliki KTP. Program asuransi yang bernama Jaminan Kesehatan Jembrana ini terbukti mampu meningkatkan pelayanan kesehatan. Bahkan antusias masyarakat terbilang cukup yaitu 40 % terhadap pelayanan kesehatan. Sedangkan dalam bidang ekonomi adalah dua garapan, dana talangan dan dana bergulir. Dana talangan adalah upaya dari jembrana membeli hasil panen padi dari KUD untuk kebutuhan pegawai negeri yang nantinya dimanfaatkan untuk petani yang biasanya menjual dengan harga rendah. Sedangkan dana bergulir adalah dana pinjaman untuk modal usaha bagi kelompok masyarakat dengan sistem bagi hasil yang nantinya bila dana tersebut telah berhasil dikembalikan dapat dimanfaatkan kepada kelompok masyarakat yang membutuhkan.


Blitar Jawa Timur

Proses pelibatan masyarakat dalam pembangunan yang partisipatif adalah mekanisme musrenbang yang telah berlangsung cukup baik di Blitar. Paling tidak ada tiga hal yang membuktikan bahwa Musrenbang berjalan baik: pertama, dihadiri oleh seluruh masyarakat, termasuk di dalamnya kelompok miskin. Kedua, masyarakat aktif dmengusulkan pembangunan di lingkungannya, bahkan tidak heran bila usulan-usulan tersebut kadangkala dikompetisikan. Proses yang sangat aktif dari masyarakat dimulai dari tingkat RT dan RW. Setiap perwakilan masyarakat berkumpul dan aktif membicarakan program pembangunan di setiap level untuk nantinya dibicarakan secara terbuka di tingkat kotamadya. Salah satu bentuk dukungan yang paling riil dalam proses pembangunan di Blitar adalah keterlibatan secara langsung dan bersama-sama masyarakat dalam melaksanakan pembangunan dengan memberi tenaga dan konsumsi.


Kabupaten Boalemo, Gorontalo

Inisiatif yang dilakukan oleh Bupati Boalemo adalah melakukan reformasi birokrasi, khususnya dalam penataan pegawai negeri sipil. Dalam hal ini nampaknya Bupati menginginkan ada tiga poin utama yaitu transparansi dalam proses pengawasan terhadap PNS, pengadaan barang dan jasa yang lebih terbuka melalui proses tender dan pemberian insentif terhadap PNS berdasarkan kinerja dan denda apabila ada pelanggaran. Insentif yang diberi nama Tunjangan Operasional Kinerja Daerah (TOKD), nampaknya memberi pemicu bagi perubahan performance PNS, terutama mengurangi absensi yang menjadi alasan kemalasan bekerja. Sedangkan proses tender yang terbuka nampaknya mengurangi pemberian tips kepada para kontraktor. Keterbukaan Bupati dan membuka akses terhadap Irjen memberi kesempatan besar kepada masyarakat untuk mengadukan berbagai keluhan seputar pelayanan dan kinerja dari aparat pemerintah.


Partisipasi Publik


Partisipasi masyarakat dalam segala pembuatan kebijakan yang nantinya akan memberikan efek langsung maupun tak langsung merupakan tuntutan mendasar dari proses demokratisasi. Oleh karenanya kanal partisipasi mau tak mau harus selalu dibuka dalam proses pembuatan, implementasi dan juga proses pengawasan serta evaluasi kebijakan publik. Seperti halnya kebijakan publik, pelayanan publik sebagai salah satu elemennya harus juga membuka kanal bagi keterlibatan baik masyarakat secara langsung maupun komponen masyarakat. Dalam pelayanan publik, keterlibatan masyarakat haruslah dimaknai secara keseluruhan dalam proses secara keseluruhan, dari proses perencanaan, implementasi, pengawasan serta evalauasi pelayanan publik.


Pelibatan dalam keseluruhan proses pelayanan publik secara filosofis mengembalikan core dari pelayanan publik sebagai sebuah mekanisme yang disediakan oleh negara untuk memenuhi kebutuhan dan hak dasar masyarakat. Inti pelayanan publik dikembalikan ke masyarakat dan bukan sebaliknya penyelenggaran layanan yang selama ini terjadi. Penyelenggara layanan kembali ditempatkan sebagai penyedia layanan bagi masyarakat bukan sebaliknya masyarakat sebagai penerima layanan harus memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh penyelenggaran layanan seperti yang selama ini terjadi. Partisipasi masyarakat dapat dibagi ke dalam ketiga proses penyelenggaraan layanan. Pertama, partisipasi dalam proses perencanaan penyelenggaraan layanan publik. kedua, dalam partisipasi dalam proses pelaksanaan penyelenggaraan layanan publik hubungan dengan pengawasan. Ketiga, partisipasi dalam evaluasi penyelenggaraan layanan publik.


Pertama,
partisipasi masyarakat dalam perencanaan penyelenggaraan layanan publik. Masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik haruslah dilihat sebagai subyek sekaligus tujuan dari penyelenggaraan pelayanan publik. Sehingga partisipasi masyarakat dalam perencanaan merupakan langkah awal yang harus dilalui. Partisipasi masyarakat dimulai dari proses penentuan standar pelayanan publik yang selama ini masih dilakukan di tingkat pusat dan ditentukan secara sepihak oleh penyelenggara layanan dalam hal ini aparatur pemerintah. Dalam penentuan standar pelayanan yang akan dijadikan acuan bagi pelaksanaan pelayanan publik di daerah-daerah partisipasi masyarakat melalui keterlibatan komponen masyarakat merupakan sebuah keharusan. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan akan meliputi penentuan kualitas jenis layanan yang diberikan, penentuan mekanisme pemberian layanan, penentuan biaya layanan, penentuan hak dan kewajiban dari penyelenggaran maupun pengguna layanan, serta maknisme komplain dan penyelesaian sengketa. Penentuan hal-hal tersebut di atas haruslah tidak sepihak oleh penyelenggara semata tetapi juga harus meminta persetujuan dari masyarakat.


Penyelenggara dalam proses perencanaan haruslah melibatkan masyarakat untuk menentukan hal -hal yang tersebut diatas. Kesepakatan yang dibuat antara penyelenggara bersama dengan masyarakat tersebut akan dituangkan dalam sebuah dokumen yang disebut piagam warga. Piagam Warga ini akan menjadi sebuah tonggak dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Piagam warga memberikan jaminan atas hak-hak masyarakat untuk memperoleh layanan sesuai dengan kesepakatan bersama antara penyelenggara dan masyarakat sebagai penerima. Di pihak lain, piagam warga juga memberikan jaminan kepada hak yang harus diterima penyelenggara atas pelayanan publik yang diberikannya. Mekanisme pengawasan dalam pelayanan publik selanjutnya akan mulai dari dari titik ini.


Kedua,
ruang partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan layanan haruslah terbuka terutama dalam pengawasan penyelenggaraannya. Berdasar piagam warga yang telah dibuat bersama penyelenggara, masyarakat memiliki hak untuk mengawasi pelayanan publik. Salah satu cara membuka ruang partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan dengan penyediaan mekanisme penanganan keluhan dan penyelesaian sengketa baik oleh penyelenggara maupun oleh lembaga independen yang memiliki kewenangan atasnya. Kejelasan mekanisme penanganan keluhan dan penyelesaian sengketa dapat mendorong peningkatan kualitas layanan dan memberikan dorongan bagi masyarakat untuk melakukan pengawasan. sedangkan di pihak lain memberikan jaminan bagi terpenuhinya hak-hak dan kebutuhan dasar masyarakat melalui pelayanan publik.


Ketiga,
pelibatan masyarakat dalam evaluasi penyelenggaraan layanan. Masyarakat sebagai penerima layanan harus dilibatkan dalam proses penilaian dan evaluasi penyelenggaraan layanan karena masyarakat adalah tujuan dari penyelenggaraan layanan publik. Pendapat masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik merupakan komponen utama dari evaluasi penyelenggaraan pelayanan publik. Mekanisme yang ditawarkan adalah evaluasi melalui survey indeks kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan layanan publik yang dilakukan secara berkala oleh lembaga independen yang memiliki kapasitas untuk melakukan survey.


Tinjauan Filosofis, Sosiologis, Yuridis


Aspek Yuridis


UUD 1945 pasal 33 ayat 3 menyebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.


Pasal 28H ayat 1 UUD 1945 menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”


UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, pasal 5 ayat 3 menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih.


UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 mengatakan bahwa warga negara di daerah terpencil atau terkebelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.


UU No 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan menyatakan bahwa pelayanan kesehatan harus memenuhi beberapa unsur pokok yakni: ketersediaan (availability), keteraksesan (accessibility), keberterimaan (acceptability) serta kualitas (quality).

Ratifikasi Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Politik UU N0. 11 Tahun 2005.


Aspek Sosiologis


Pelayanan publik merupakan sarana pemenuhan kebutuhan mendasar masyarakat untuk kesejahteraan sosial. Sehingga perlu memperhatikan nilai-nilai, sistem kepercayaan, religi, kearifan lokal serta pelibatan masyarakat. Perhatian terhadap beberapa aspek ini memberikan jaminan bahwa pelayanan publik yang dilaksanakan merupakan ekspresi kebutuhan sosial masyarakat. Dalam konteks itu, ada jaminan bahwa pelayanan publik yang diberikan akan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, masyarakat akan merasa memiliki pelayanan publik tersebut sehingga pelaksanaannya diterima dan didukung penuh oleh masyarakat.


Aspek filosofis


Secara filosofis pelayanan publik merupakan salah satu alasan dan tujuan dibentuknya negara, dengan demikian negara sebagai pemegang mandat dari rakyat bertanggungjawab untuk menyelenggarakan pelayanan publik sebagai usaha pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Dalam hal ini, posisi negara adalah sebagai pelayan rakyat (public servant) dan pemberi layanan. Sementara, rakyat memiliki hak atas pelayanan publik negara karena sudah memenuhi kewajibannya sebagai warga negara, seperti membayar pajak (langsung maupun tidak langsung) dan terlibat dalam pengawasan dan partisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik


Tanggapan Kritis terhadap RUU Pelayanan Publik


Tidak berdasar pada pemenuhan Hak Asasi Manusia


Paradigma Pelayanan publik yang digunakan oleh RUU Pelayanan Publik sangat sempit, yang diatur hanyalah pelayanan publik yang diselenggarakan oleh aparatur pemerintah. RUU yang diusulkan oleh Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negera (Kemen PAN) mengacu pada kewenangan dan tupoksinya yaitu mengatur apatur pemerintahan dalam konteks penyelenggaraan pelayanan publik. Sementara jika melihat dari kondisi pelayanan publik, dari segi kuantitas penyelenggara pelayanan publik dari sektor swasta dan kelompok masyarakat tidak sedikit. RUU tidak memberikan jaminan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik oleh penyelenggara diluar aparatur pemerintah. Juga tidak ada jaminan terhadap terpenuhinya hak dan kebutuhan mendasar masyarakat dalam limgkup pemenuhan HAM.


Terbatasnya ruang partisipasi masyarakat


Ruang partisipasi masyarakat hanya tertuang pada pasal 38 tentang peran serta masyarakat yang diwujudkan dalam kerjasama, pemenuhan kewajiban dan pengawasan. RUU tidak memberikan ruang masyarakat terlibat dalam hal perencanaan pelayanan publik dan pengawas masyarakat. Beberapa perangkat dalam penyelenggaraan pelayanan seperti Standar Pelayanan, Maklumat Pelayanan, Lembaga Pengawasan juga tidak memberikan peluang bagi keterlibatan masyarakat.


Tidak adanya jaminan pelayanan khusus kelompok rentan, serta percepatan penyediaan layanan bagi masyarakat miskin dan komunitas adat terpencil


Pasal 26 tentang pelayanan khusus bagi kelompok rentan tidak memberikan jaminan terhadap aksesibilitas terhadap pelayanan publik. Begitu pula terhadap aksesibiltas bagi kelompok marginal dan komunitas adat terpencil. Harapan terhadap adanya jaminan bagi kelompok rentan, masyarakat miskin dan komunitas adat terpencil mendapatkan manfaat yang sama atas pelayanan publik tidak menjadi prioritas dalam RUU. Meski telah ada UU tentang Penyandang Cacat, dan kebijakan sektoral lainnya untuk kelompok penyandang cacat memperoleh layanan yang berpihak nyatanya dalam pelaksanaannya masih sangat minimalis. Sementara untuk masyarakat miskin dan komunitas adat terpencil, belum ada satu kebijakan pun yang secara khusus memberikan jaminan terhadap terpenuhi hak-hak mendasar mereka.


Mekanisme pengawasan dan penanganan keluhan yang tidak optimal


Mekanisme pengawasan dan penyelesaian sengketa merupakan jaminan lain bagi masyarakat untuk mendapatkan layanan publik. Sayangnya, pasal 34 sampai 36 menjelaskan mekanisme pengawasan yang belum memenuhi unsur-unsur transparansi dan akuntabilitas yang menjamin adanya perlindungan bagi masyarakat sebagai penerima layanan. Mekanisme internal yang dimaksud adalah pengawasan yang dilakukan oleh atasan langsung dan aparat fungsional penyelenggara, yang tahapan penyelenggaraan pengawasannya akan diatur selanjutnya oleh peraturan perundang-undangan (PP). Sementara untuk pengawasan eksternal dilakukan jika terjadi persengketaan atas pelanggaran yang dilakukan oleh aparat dan penyelenggaran layanan dan mengamanatkan pelaksanaannya pada Ombudsman.


Tanggapan kritis atas mekanisme pengawasan internal dan eksternal adalah apakah PP tentang mekanisme pengawasan internal cukup relevansinya dengan mekanisme yang diharapkan seperti yang disebut diatas, yaitu terpenuhinya unsur-unsur transparansi dan akuntabilitas. Secara substantif biasanya PP justru menimbulkan efek kontraproduktif terhadap implementasi sebuah kebijakan. Dari segi proses, pembentukkan PP memakan waktu yang lama dan biaya yang cukup besar. Lembaga Ombudsman yang diamanatkan oleh RUU untuk melakukan pengawasan eksternal juga memiliki banyak keterbatasan, seperti terbatasnya jumlah dan kapasitas ombudsman di daerah dan keterbatasan wewenang. Kewenangan ombudsman sampai saat ini hanya dalam lingkup memberikan rekomendasi dan tidak berwenang eksekutorial. Sehingga tidak ada jaminan bagi penerima layanan dan masyarakat luas mendapatkan hak atas penyelesaian sengketa dan pemulihan atas pelanggaran yang dilakukan.


Sanksi


Pasal 44 yang menjelaskan sanksi hanya mengakomodir pemberian sanksi administratif bagi penyelenggara dan aparat yang melanggar kewajiban dan larangan yang diatur dalam RUU. Sementara dalam naskah akademik pemeberian sanksi dapat berupa sanksi administrasi, pidana maupun perdata. Jelas terlihat bahwa draft RUU tidak sepenuhnya mengacu pada naskah akademik yang cukup menitkberatkan pada upaya-upaya dalam memberikan keadilan pada penerima layanan atas kerugian dan pelanggaran pelayanan. Indikator pemberian sanski juga hanya berdasarkan pada pelanggaran atas kewajiban dan larangan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik, tidak ada indikator lain khususnya kepada penyelenggara misalnya atas kuantitas dan kualitas penanganan keluhan yang tidak terselesaikan. Dengan kata lain kinerja penyelenggaraan pelayanan publik yang bisa terukur dari indikaotr kepuasan masyarakat tidak menjadi dasar dalam pemberian sanksi. Sanksi sebenarnya tidak hanya dipahami sebagai bentuk hukuman tapi juga upaya preventif bagi penyelenggara untuk melakukan pelanggaran. Jika kinerja bisa dijadikan dasar bagi pemberian sanksi maka akan mendorong meningkatan kinerja penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik.


Ambiguitas dalam Pembiayaan : Wujud ketidakberpihakan negara pada masyarakat miskin


Pasal 28-30 tentang biaya pelayanan publik terkesan bahwa RUU tidak memberikan jaminan teraksesnya pelayanan publik bagi masyarakat miskin. Pasal 28 menjelaskan ambiguitas negara dalam hal pembiayaan, bahwa biaya penyelenggaraan yang merupakan hak-hak sipil masyarakat dibebankan pada negara. Namun negara dapat membebankan biaya pelayanan pada penerima layanan (masyarakat). Kemudian diperkuat dengan penetapan biaya pelayanan yang sepihak oleh aparat, dengan hanya mempertimbangkan Tingkat kemampuan dan daya beli masyarakat; nilai/harga yang berlaku atas barang dan atau jasa; rincian biaya yang jelas dan transparan; prosedur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Penetapan biaya dilakukan tanpa adanya misalnya keterlibatan masyarakat, lembaga independen, atau pun lembaga legislatif. Sehingga terlihat sekali dominasi negara sebagai penyelenggara layanan publik. Dapat dibayangkan semakin tidak teraksesnya masyarakat miskin pada pelayanan publik, karena adanya beban biaya yang harus dikeluarkan. Negara menegasikan kewajiban dan tanggungjawabnya dalam memberikan jaminan kepada sampainya manfaat yang sama atas pelayanan publik tanpa perlakuan dan kebijakan yang diskriminatif terutama pada kelompok masyarakat miskin.


RUU tidak menjamin hak akan kebebasan informasi


Pasal 32 (i) mengatakan bahwa kewenangan badan/penyelenggara pelayanan publik untuk tidak membocorkan infomasi dan dokumen yang dirahasiakan oleh peraturan perundang-undangan lain. Sementara saat ini belum ada aturan perundangan yang dapat menjamin masyarakat mengakses informasi publik. Aturan yang ada lebih banyak memberikan larangan publik untuk mengakses. RUU tidak merumuskan mana informasi yang bisa dirahasiakan mana yang tidak. UU di Indonesia belum ada jaminan kepada publik untuk dapat mengakses informasi. Contoh UU Rahasia Bank, Kearsipan, dll. Naskah akademik mengacu pasal 28 (f) UUD 1945 yaitu “setiap orang berhak berkomunikasi untuk memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, mengolah dan menyampaikan informasi dengan segala jenis saluran yang tersedia,’ yang merupakan jaminan hukum tertinggi untuk publik dapat mengakses informasi.


Sementara dalam RUU pasal 32 (i) tidak ada jaminan informasi mana yang bisa diakses oleh publik. Pasal hanya menyebutkan larangan bagi para aparat penyelenggara untuk membocorkan informasi atau dokumen menurut peraturan perundang-undangan. UU yang ada sekarang belum memiliki aturan yang memadai yang dapat menentukan mana informasi yang rahasia mana yang tidak, sehingga jenis informasi yang sifatnya rahasia bukanlah persepsi atau penafsiran aparatur negara. Beberapa pasal dalam RUU Pelayanan Publik adalah salinan dari Keputusan Menteri PAN No. 63 tahun 2004 tentang pedoman umum Pelenggaraan Pelayanan Publik. Pasal-pasal mengenai asas dan ruang lingkup, penyelenggara pelayanan publik (pasal 6, 12), penyelenggara pelayanan publik (pasal 15, 16, 17), pelayanan khusus (pasal 26 dan 27), biaya (pasal 28, 30), pengawasan (pasal 33), indeks kepuasan masyarakat (pasal 37).


Sikap dan Posisi MP3


  1. Mengawal dan mengkritisi RUU pelayanan publik versi Kementrian PAN.

  2. Memperluas paradigma dalam RUU Pelayanan Publik sebagai pemenuhan Hak-hak dasar sesuai dengan paradigma HAM sebagaimana diamanatkan dalam Ratifikasi Kovenan EKOSOB UU No. 11 Tahun 2005.

  3. Mendorong RUU Pelayanan Publik yang mengakomodir pemenuhan hak-hak dasar masyarakat sipil.

  4. Mendorong seluruh komponen masyarakat sipil untuk bersama-sama mengadvokasi lahirnya kebijakan terkait.


REKOMENDASI


  1. Paradigma dan ruang lingkup penyelenggaraan pelayanan publik


Penyelenggaraan Pelayanan Publik haruslah dimaknai sebagai sebuah
usaha pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dan merupakan kewajiban pemerintah untuk melakukan pemenuhan hak-hak dasar tersebut. Sehingga RUU ini harus menjamin tersedianya layanan publik bagi masyarakat sebagai jaminan terhadap perlindungan HAM.


  1. Penguatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik


Masyarakat sebagai penerima layanan haruslah dilihat sebagai subyek yang dapat menentukan jenis, proses dan kualitas layanan yang akan diterimanya. Partisipasi masyarakat dalam menentukan jenis, proses dan kualitas layanan dapat terpenuhi melakui pembuatan piagam warga.
Piagam Warga (Citizen Charter) merupakan kontrak layanan yang dibuat oleh penyelenggaran layanan dengan masyarakat/ komponen masyarakat mengenai jenis, proses, kualitas layanan, waktu layanan, biaya layanan, hak dan kewajiban penerima dan penyelenggara layanan, mekanisme komplain, sanksi serta mekanisme penyelesaian sengketa. Di sisi lain, melalui piagam warga pembiayaan dapat diatur sedemikian rupa sehingga menjamin aksesbilitas kelompok rentan terhadap pelayanan publik.


Selain piagam warga, katup partisipasi publik hendaknya harus dibuka dalam penentuan kualitas Standar Pelayanan (SP).
Penentuan SP hendaknya tidak hanya sepihak oleh penyelenggara semata tetapi juga melibatkan komponen masyarakat untuk menentukannya. Standar Pelayanan nantinya akan dijadikan acuan bagi daerah untuk membuat Piagam Warga. Jaminan keterbukaan akses informasi dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik harus tertuang dalam piagam warga dan standar pelayanan minimal.


  1. Percepatan penyediaan layanan bagi kelompok rentan, masyarakat miskin dan komunitas adat terpencil


RUU Pelayanan publik yang berasal dari MENPAN belum memberikan jaminan bagi tersedianya layanan bagi kelompok rentan (penyandang cacat), miskin dan komunitas adat terpencil. Jika pelayanan publik merupakan sebuah proses pemenuhan hak-hak dasar maka negara sebagai penyelenggara layanan haruslah melakukan
percepatan bagi tersedianya sarana dan prasarana penyelenggaraan pelayanan publik bagi kelompok penyandang cacat. Serta jaminan tersedianya pelayanan publik mendasar yang dapat diakses oleh masyarakat miskin. Sedangkan bagi masyarakat komunitas adat terpencil pelayanan publik haruslah menjunjung tinggi dan menyesuaikan nilai-nilai, norma adat dan budaya lokal.


Selain itu yang diperlukan juga adalah
jaminan tersedianya percepatan penyediaan pelayanan publik mendasar yang dapat diakses oleh masyarakat miskin. Sedangkan bagi masyarakat komunitas adat terpencil pelayanan publik haruslah menjunjung tinggi dan menyesuaikan nilai-nilai, norma adat dan budaya lokal.


  1. Lembaga Pengawas Independen


Mekanisme pengawasan dan penyelesaians sengketa merupakan jaminan lain bagi masyarakat untuk mendapatkan layanan publik. Sayangnya, RUU ini hanya mengatur mekanisme pengawasan internal dan kehadiran lembaga pengawas tidak memiliki kemampuan eksekutorial dalam penyelesaian sengketa.


Jaringan MP3 melihat perlunya sebuah
lembaga independen yang melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik dan memiliki kemampuan eksekutorial yang dipatuhi oleh penyelenggara maupun penerima layanan. Lembaga independen haruslah memiliki kewenangan eksekutorial agar dapat menyelesaikan sengeketa layanan publik secara cepat dan murah.


  1. Mekanisme penanganan keluhan (internal dan eksternal)


Selama ini tidak pernah ada kejelasan mengenai penanganan keluhan yang muncul di masyarakat terhadap penyelenggara pelayanan publik.
RUU Pelayanan Publik haruslah mendorong mekanisme penanganan dan penyelesaikan keluhan. Penanganan dan Penyelesaian keluhan haruslah dilakukan oleh pihak penyelenggara dan pihak eksternal sebagai bagian dari pengawasan.


  1. Mekanisme sanksi


Sanksi yang diterapkan terhadap penyelenggara
tidak hanya bersifat sangsi administratif, tetapi juga harus sangsi perdata dan pidana. Dalam RUU sanksi yang diatur hanyalah sanksi administratif yang hanya bisa dijatuhkan kepada penyelenggara layanan publik dari pihak pemerintah. Sedangkan di pihak lain cukup banyak penyelenggara pelayanan publik non pemerintah yang juga harus dikenai dengan sanksi serupa jika melakukan pelanggaran terhadap piagam warga maupun standar pelayanan.


  1. Terobosan kebijakan di kabupaten/kota tentang Pelayanan Publik


Semenjak otonomi daerah cukup banyak terobosan yang dimiliki daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik. Di yogyakarta misalnya telah terdapat piagam warga antara masyarakat dengan penyelenggara layanan kesehatan. Di jawa timur telah terdapat perda yang mengatur pelayanan publik dan mendorong lahirnya komisi pelayanan publik daerah. Di solok terdapat pakta integritas.
Terobosan-terobosan positif yang dilakukan daerah tersebut haruslah diakomodasi oleh Undang-undang pelayanan publik. jangan sampai UU pelayanan publik nantinya mematikan terobosan-terobosan yang dicapai oleh daerah.

1 Dikutip dari Redefining The Concept of Governance, Canada International Development Agency, July 1997, hal 1.

22 Kesepuluh prinsip ini merupakan hasil dari Forum Pemerintah Daerah yang diadakan di Denpasar,Bali pada tanggal 3-4 Juni 2002 dihadiri oleh semua asosiasi pemerintahan daerah dan dewan perwakilan daerah seluruh Indonesia.


Tangan Penguasa di Balik Bencana Dadap?

Majalah FORUM KEADILAN

Edisi No. 09, 26 Juni 2005


Masyarakat Desa Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, resah. Kampung mereka semakin menyempit oleh kativitas reklamasi dan pengembangan kawasan pantai itu menjadi kawasan hunian.


Empat tahun berlalu sudah. Namun, keinginan Bupati Agus Djunara, mengembangkan kawasan pantai di wilayah Desa Dadap belum juga terwujud. Alih-alih para pelancong berduyun datang, mantan orang nomor satu di Tangerang itu kini malah menuai aksi protes warga nya.


Bagaiman tidak, kegiatan reklamasi untuk pembangunan kawasan plus hunian pariwisata yang dikembangkan oleh tiga perusahaan – PT. Parung Harapan, PT. Koperasi Pasir Putih, dan PT. Kosambi Makmur – banyak meminta korban.


Keperawanan alam desa yang berareal 596,2 hektar itu telah terenggut. Disamping kehilangan kemampuan sebagai perlindungan ekosistem pantai, puluhan hektar bibir pantai yang di reklamasi juga telah berubah menjadi tanah merah. Akibatnya, dalam tempo singkat, sekitar 10 hektar kawasan pantai raib dan semakin menyempit.


Itu tidak seberapa. Dampak yang mudah terlihat dari kegiatan industrialisasi pariwisata tersebut adalah terjadinya sedimentasi yang signifikan akibat gerusan ombak. Walhasil, penyempitan dan pendangkalan di sekitar muara Dadap semakin hebat. Kondisi tersebut praktis menambatkan perahu nelayan selalu berada di daratan, akibat terganggunya lalu-lintas perairan. Tak jarang, perahu yang berpapasan disungai, dibutuhkan waktu 1 jam. Terlebih pada sore hari, saat air surut, tentu lebih memakan waktu lagi. Padahal, lebar mulut sungai Dadap sebelumnya mencapat 35 meter dengan kedalaman 5 meter.


Kondisi tersebut tentu menghambat mata pencaharian para nelayan yang hidup disekitarnya. Mereka harus rela mengarungi laut dengan jarak tempuh lebih jauh dari sebelumnya, hanya sekedar mendapatkan 1-2 koligram ikan saja. Bahkan tak jarang mereka harus menanggung kerugian karena hasil tangkapan tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Apalagi dengan kenaikan harga BBM yang kini ikut mereka rasakan.


Tingkat kerugian nelayan menajam, seiring punahnya hutan
mangrove (pohon bakau di sekitar pantai--red) akibat tertimbun tanah dan terpaksa di tebang untuk kegiatan industrialisasi itu. Selain menimbulkan abrasi pantai, plankton dan biota juga ikut punah. Ini mengakibatkan komunitas budidaya laut yang terbilang mahal selain ikan, seperti udang, kepiting, kerang, cumi dan sebagainya , ikut punah.


Karena antara flora dengan habitatnya saling terkait, kerusakan hutan mangrove juga turut menagkibatkan air laut menjadi pasang tak beraturan. Dalam satu bulan misalnya, sudah 3 kali warga mendapat kiriman luapan air laut. Bahkan saat ini, volume airnya kian hari bertambah. Pernah, warga kembali mendapat parcel air laut dengan ketinggian 75 centimeter.


Kegiatan reklamasi yang tak ramah lingkungan sejak empat tahun terakhir ini juga ikut menghantam beberapa infrastruktur warda Dadap, seperti jalan, sekolah, dan mesjid. Pernah juga saat kegiatan belajar-mengajar berlangsung, begitu air kiriman laut datang, anak-anak menghambur keluar menyelamatkan diri. Hal ini terjadi bukan sekali saja.


Kenyataan yang kami tangkap akibat keadaan ini, bukan hanya turunnya minat belajar para siswa Dadap, juga tak sedikit anak-anak SD memilih putus sekolah, terutama anak nelayan tadi,” kisah Gatot Yan S, Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Dadap (FORMAT).


Sejumlah instansi terkait, baik Bupati, DPRD Kabupaten Tangerang, dan Dinas Lingkungan Hidup (LH) memang sudah turun tangan. Bahkan menteri LH dan DPR RI Komisi VII urusan LH sudah ikut nimbrung. Hasilnya, kedua pejabat tinggi negara itu sudah meminta Bupati Tangerang saat ini, Ismet Iskandar, untuk menghentikan aktivitas pembangunan kawasan pariwisata yang menyita lahan 100 hektar yang berpenghuni 11.513 jiwa itu. “Tetapi dalam pantauan beberapa masyarakat, termasuk FORMAT, kegiatan dilapangan tetap berjalan, meski terkesan sembunyi-sembunyi,” sesal Yan. Mengapa demikian?


Penyelesaian kasus dari Pemda Tangerang masih terkesan setengah hati. Hal itu setidaknya kentara dari penyusunan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), baru dibuat pada Desember 2004 lalu. Padahal kasus ini sudah mencuat sejak tahun 2001. “Ini membuat dugaan kita terhadap praktik backing kaum birokrat terhadap perusahaan makin kuat,” tegas Yan.


Memang bisa dimaklumi, karena kasus ini terjadi pada Bupati sebelumnya, sehingga ada keterputusan birokrasi dalam hal perijinan. Sebelumnya, Kepala Humas Pemkab Tangerang, Achmad Djabir menjelaskan, Bupati Ismet Iskandar tidak mengetahui ikhwal perijinannya.


Tetapi yang aneh, terkait dengan rekomendasi tertulis perintah Menteri LH ke Bupati, menurut Yan, sampai saat ini Bupati tidak pernah menerbitkan surat perintah kepada perusahaan untuk menghentikan proses reklamasi untuk pembangunan itu. “Jika ada niat baik, Pak Bupati harusnya menunjukkan surat itu. Tapi ini tidak, malah kami yang harus mengeceknya,” sesal Yan.


Lebih dari itu, ada satu hal yang perlu dijelaskan oleh Bupati Ismet. Yaitu terkait dengan perijinan AMDAL yang pernah dikeluarkan oleh Bupati sebelumnya yang kontroversial. Seperti diungkap Direktur Public Interest Environmental Lawyers (PIELS), Maulana Adam Humaidi, sisi kontroversial itu adalah pemahaman antara kawasan wisata dan perumahan yang rancu.


Dalam sejumlah surat permohonan, rekomendasi dan surat ijin yang dikeluarkan mantan Bupati Agus Djunara, bahwa ketiga perusahaan pereklamasi itu selalu menyebut-nyebut akan mengembangkan kawasan wisata pantai terpadu. Pada kenyataannya, dalam kerangka acuan amdal, dinyatakan bahwa mereka akan membangun Perumahan Pantai Mutiara Dadap. “Paling tidak, antara kawasan wisata dan perumahan. Itu jelas berbeda konsep,” kata Adam.


Ternyata masalah reklamasi pantai Dadap tak berhenti sampai disitu. Salah satunya terkait dengan beberapa tapal batas teritorial yang akan dibangun. Ada sejumlah kejanggalan dalam Kerangka Acuan AMDAL Pantai Dadap milik PT. Parung Harapan. Pada halaman muka disebutkan, wilayah pengembangannya adalah Desa Dadap dan Kosambi Timur. Namun pada halaman dalam disebutkan, pengembangan hunian tersebut meliputi Desa Kosambi Timur dan Barat.


Menurut Yan, itu mungkin saja terjadi karena salah satu perusahaan pengembang reklamasi tersebut diketuai oleh Kepala Desa Dadap sendiri, Dames Taufik. Ia khawatir bila hal yang sama terjadi dengan tiga perusahaan yang mengelola industri pariwisata itu: Bupati Ismet adalah pemilik tiga perusahaan itu. “Buktinya, Bupati Ismet tidak pernah menerbitkan surat perintah penghentian proyek reklamasi Pantai Dadap kepada ketiga perusahaan pengelola industri pariwisata tersebut,” kata Yan. Benarkah dugaan Yan? Biarlah keadilan yang menjawab. (Alfi Rahmadi)


Reklamasi Dadap


Rabu, 20 Februari 2008

Jangkar ajak masyarakat awasi Pilkada

Harian SATELIT NEWS
Jumat, 05 Oktober 2007

TANGERANG, SN-Direktur Eksekutif Jaringan Karang Taruna (Jangkar) Pilkada, Gatot Yan S, mengatakan bahwa terkait kekhawatiran banyak pihak akan kecurangan serta praktek kampanye hitam (Black Campaign), nampaknya bakal terjadi. Menurutnya, kondisi tersebut terlihat dari ketidaksiapan lembaga-lembaga yang berkompeten dalam tahapan penyelenggaraan Pilkada.

"Ketidak akuratan data DP4 yang diberikan Disdukcapil, DPRD yang hingga kini belum membentuk Panwas hingga pengunduran jadwal pendaftaran pasangan calon oleh KPUD adalah contoh kecil dari lemahnya kinerja lembaga-lembaga yang terkait dengan penyelenggaraan Pilkada," ujarnya.

Gatot menambahkan, di tingkatan elit politik saja menampakkan kecenderungan bahwa momentum Pilkada hanyalah menjadi alat untuk mengejar kekuasaan dan sama sekali tidak mempedulikan gejolak di tingkatan arus bawah.

Sebagai lembaga pemantau Pilkada yang sudah mendapat SK KPUD, Jangkar, sudah melihat adanya indikasi konflik-konflik horizontal sudah mulai bermunculam "Adanya pengrusakan atribut calon tertentu serta merebaknya berbagai isu yang menjurus SARA menunjukkan tidak berfungsinya Parpol sebagai wadah pendidikan politik rakyat," tegasnya.

"Kami mengharapkan desakan ini semata-mata dimaknai sebagai usaha mewujudkan Pilkada demokratis dengan tetap mengedepankan legitimasi hukum. Kami juga menggaris bawahi pemantauan ini semata-mata untuk mendorong keterlibatan publik dalam rangka mewujudkan Pilkada yang bersih damai, dan demokratis", tandas nya. (nurul huda/deddy)


Pilkada Tangerang


Temuan Jangkar Pilkada, Rumah Dinas Jadi Markas Timses

Harian SATELIT NEWS
Senin, 22 Oktober 2007



TANGERANG, SN-Belum genap sebulan mendapat Akreditasi dari KPUD Kabupaten Tangerang, Lembaga Pemantau JANGKAR PILKADA telah kebanjiran laporan dari masyarakat.
Lembaga yang dibentuk oleh beberapa ormas/LSM dan dimotori oleh Karang Taruna ini menerima beragam aduan dari masyarakat yang melaporkan kecurangan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang hendak bertarung dalam bursa Cabup-Cawabup dalam Pilkada awal 2008 mendatang.

"Laporan yang masuk sangat beragam, dari mulai pembagian sembako dengan ajakan memilih calon tertentu sampai laporan tentang Rumah Dinas yang dijadikan posko Tim Sukses," demikian dikatakan Hamdan Baskara, Deputi Jaringan & Pemantauan JANGKAR, saat di Temui SATELIT NEWS, kemarin.


Dalam laporan yang diberikan oleh seorang warga Mauk tersebut dikatakan bahwa di wilayahnya ada sebuah rumah dinas milik salah satu instansi Pemkab Tangerang yang dijadikan posko Tim Sukses salah satu calon.


"Kami telah mengutus Divisi Investigasi untuk mempelajari laporan tersebut, hasil sementara sih mengindikasikan adanya kebenaran dari laporan itu namun bukti-bukti konkrit masih terus kami kumpulkan termasuk keterangan beberapa warga yang sering diajak rapat disitu," tegas Hamdan.


Koordinator Eksekutif JANGKAR, Gatot Yan. S saat dihubungi lewat telepon selularnya membenarkan adanya laporan terkait penyalahgunaan rumah dinas tersebut. Dikatakan Gatot bahwa jika laporan tersebut benar maka sesungguhnya telah terjadi persoalan serius dalam proses penegakan demokrasi di Kabupaten Tangerang. Lagipula hal itu jelas-jelas melanggar UU 32/2004 sehingga penyelenggara Pilkada wajib menindaklanjutinya sesuai tingkat pelanggaran.

Bagi oknum pejabat yang mengijinkan penggunaan rumah dinas untuk kepentingan tim sukses tersebut, Gatot mengatakan jelas oknum tersebut telah melanggar SE Men PAN nomor 08.A Tahun 2005. "Oknum tersebut dapat diancam hukuman disiplin PNS dari mulai penurunan pangkat setingkat lebih rendah hingga pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS," lanjut Gatot.

Namun ketika didesak apakah hal ini akan ditindaklanjuti dengan melaporkannya kepada KPUD, dia akan melengkapi dulu hasil investigasi di lapangan. "Kami tidak mau membuat laporan yang parsial karena lembaga kami memegang kode etik Obyektif, Independen, Netral, Faktual dan Analisis. Nanti setelah data-datanya lengkap baru kami akan laporkan ke KPUD dan Panwas," katanya.


Lebih lanjut Gatot mengatakan bahwa JANGKAR yang dibentuk oleh beberapa elemen ini telah merekrut 1.778 orang relawan yang disebar di 328 Desa/Kelurahan di Kabupaten Tangerang. Pihaknya memang sengaja memantau Pilkada jauh sebelum genderang kampanye ditabuh karena menurutnya sempitnya masa kampanye memaksa para kandidat berlomba-lomba mencuri start kampanye dan di masa-masa seperti itulah pelanggaran-pelanggaran justru rawan terjadi. (Nurut Huda/Baihaki)


Pilkada kian memanas, Semua Pihak Harus Menahan Diri

Harian SATELIT NEWS
Rabu, 31 Oktober 2007

TANGERANG, SN-Peluang terjadinya kerusuhan pada PlIkada Kabupaten Tangerang, sangat terbuka. Jika kejadian itu dibiarkan, tidak mustahil tindakan kekerasan lain akan terus mewarnai proses Pilkada nanti.

"Disinilah, pentingnya semua pihak harus waspada dan bisa menahan diri," demikian dikatakan Gatot Yan S, Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Jangkar Pilkada, kepada Satelit News, kemarin.

Menurutnya, kasus pemukulan yang menimpa kader PPP itu, menunjukkan indikasi betapa masih rendahnya kesadaran berdemokrasi masyarakat Tangerang. Tak terkecuali bagi elit partai dan elit politiknya. Terbukti, tanggapan yang muncul dari peristiwa pemukulan ini hanya sekedar penghindaran dari tanggung jawab. Bahkan yang juga kerap terdengar adalah mencari kambing hitam. Padahal, kejadian sebenarnya adalah ketidakmampuan elit politik dalam mengendalikan massanya.

"Ini jelas-jelas kesalahan para elit yang tidak bisa mengarahkan kadernya," katanya. Ditambakan Gatot, sumber dari konflik bukan dari masyarakat yang sering kali dikatakan pendidikan politiknya rendah. Justru dengan pendidikan politik yang rendah, padahal sikap demikian sering datang dari sikap elit politik itu sendiri. Sejatinya, para elit mampu memberikan pemahaman bahwa kandidat lain adalah lawan dalam berdemokrasi, bukan musuh yang harus dihabisi.

Pada Pilkada ini, lanjut Gatot, jarak emosi antara figur calon dan massa pemilihnya sangatlah dekat. Menurutnya, secara psikologis, warga menjadi lebih dekat dengan pemimpin lokal. Hal ini akan memicu lahirnya fanatisme yang sangat kuat terhadap masing-masing calon. Apa yang terjadi dan dilakukan elite lokal secara otomatis akan merembet ke warga. "Jadi, peran elit benar-benar sangat menentukan Pilkada ini bisa berjalan damai atau tidak," katanya.

Gatot menambahkan, kedepan pemetaan daerah-daerah konflik, menjadi sangat penting dilakukan agar peta konflik bisa dilihat dan diantisipasi sedini mungkin. Baginya, peta konflik bisa dilihat dari hal paling mendasar, yaitu ideologi dan primordial. Belum lagi, faktor ideologi biasanya sangat krusial, karena melibatkan keyakinan tertentu. Sementara faktor primordial cukup sensitif sekaligus efektif membelah soliditas masyarakat di suatu daerah. "Makanya dibutuhkan kearifan dan kecerdasan lokal agar pluralitas serta warna ideologi tidak menjadi petaka kemanusiaan," tukasnya.

Harus diakui, pemilih kebanyakan adalah pemilih primordial dan tradisional. Masih sangat sedikit jumlahnya pemilih rasional. Sehingga hal yang sangat dibutuhkan adalah pendidikan politik bagi masyarakat atau civic education, terutama tentang urgensi Pilkada dan masa depan kesejahteraan warga.

Menurutnya, membangun kesadaran dan kultur demokratis, dewasa dan bijak memang bukanlah langkah mudah dan cepat, melainkan butuh proses panjang. Selain itu, lanjut Gatot. perlu juga ditegaskan kepada parpol dan kandidat pimpinan daerah untuk tidak menggunakan simbol-simbol suku, agama dan ras yang dapat menciptakan konflik. (nurul huda/baihaki)