Minggu, 24 Februari 2008

Tangan Penguasa di Balik Bencana Dadap?

Majalah FORUM KEADILAN

Edisi No. 09, 26 Juni 2005


Masyarakat Desa Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, resah. Kampung mereka semakin menyempit oleh kativitas reklamasi dan pengembangan kawasan pantai itu menjadi kawasan hunian.


Empat tahun berlalu sudah. Namun, keinginan Bupati Agus Djunara, mengembangkan kawasan pantai di wilayah Desa Dadap belum juga terwujud. Alih-alih para pelancong berduyun datang, mantan orang nomor satu di Tangerang itu kini malah menuai aksi protes warga nya.


Bagaiman tidak, kegiatan reklamasi untuk pembangunan kawasan plus hunian pariwisata yang dikembangkan oleh tiga perusahaan – PT. Parung Harapan, PT. Koperasi Pasir Putih, dan PT. Kosambi Makmur – banyak meminta korban.


Keperawanan alam desa yang berareal 596,2 hektar itu telah terenggut. Disamping kehilangan kemampuan sebagai perlindungan ekosistem pantai, puluhan hektar bibir pantai yang di reklamasi juga telah berubah menjadi tanah merah. Akibatnya, dalam tempo singkat, sekitar 10 hektar kawasan pantai raib dan semakin menyempit.


Itu tidak seberapa. Dampak yang mudah terlihat dari kegiatan industrialisasi pariwisata tersebut adalah terjadinya sedimentasi yang signifikan akibat gerusan ombak. Walhasil, penyempitan dan pendangkalan di sekitar muara Dadap semakin hebat. Kondisi tersebut praktis menambatkan perahu nelayan selalu berada di daratan, akibat terganggunya lalu-lintas perairan. Tak jarang, perahu yang berpapasan disungai, dibutuhkan waktu 1 jam. Terlebih pada sore hari, saat air surut, tentu lebih memakan waktu lagi. Padahal, lebar mulut sungai Dadap sebelumnya mencapat 35 meter dengan kedalaman 5 meter.


Kondisi tersebut tentu menghambat mata pencaharian para nelayan yang hidup disekitarnya. Mereka harus rela mengarungi laut dengan jarak tempuh lebih jauh dari sebelumnya, hanya sekedar mendapatkan 1-2 koligram ikan saja. Bahkan tak jarang mereka harus menanggung kerugian karena hasil tangkapan tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Apalagi dengan kenaikan harga BBM yang kini ikut mereka rasakan.


Tingkat kerugian nelayan menajam, seiring punahnya hutan
mangrove (pohon bakau di sekitar pantai--red) akibat tertimbun tanah dan terpaksa di tebang untuk kegiatan industrialisasi itu. Selain menimbulkan abrasi pantai, plankton dan biota juga ikut punah. Ini mengakibatkan komunitas budidaya laut yang terbilang mahal selain ikan, seperti udang, kepiting, kerang, cumi dan sebagainya , ikut punah.


Karena antara flora dengan habitatnya saling terkait, kerusakan hutan mangrove juga turut menagkibatkan air laut menjadi pasang tak beraturan. Dalam satu bulan misalnya, sudah 3 kali warga mendapat kiriman luapan air laut. Bahkan saat ini, volume airnya kian hari bertambah. Pernah, warga kembali mendapat parcel air laut dengan ketinggian 75 centimeter.


Kegiatan reklamasi yang tak ramah lingkungan sejak empat tahun terakhir ini juga ikut menghantam beberapa infrastruktur warda Dadap, seperti jalan, sekolah, dan mesjid. Pernah juga saat kegiatan belajar-mengajar berlangsung, begitu air kiriman laut datang, anak-anak menghambur keluar menyelamatkan diri. Hal ini terjadi bukan sekali saja.


Kenyataan yang kami tangkap akibat keadaan ini, bukan hanya turunnya minat belajar para siswa Dadap, juga tak sedikit anak-anak SD memilih putus sekolah, terutama anak nelayan tadi,” kisah Gatot Yan S, Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Dadap (FORMAT).


Sejumlah instansi terkait, baik Bupati, DPRD Kabupaten Tangerang, dan Dinas Lingkungan Hidup (LH) memang sudah turun tangan. Bahkan menteri LH dan DPR RI Komisi VII urusan LH sudah ikut nimbrung. Hasilnya, kedua pejabat tinggi negara itu sudah meminta Bupati Tangerang saat ini, Ismet Iskandar, untuk menghentikan aktivitas pembangunan kawasan pariwisata yang menyita lahan 100 hektar yang berpenghuni 11.513 jiwa itu. “Tetapi dalam pantauan beberapa masyarakat, termasuk FORMAT, kegiatan dilapangan tetap berjalan, meski terkesan sembunyi-sembunyi,” sesal Yan. Mengapa demikian?


Penyelesaian kasus dari Pemda Tangerang masih terkesan setengah hati. Hal itu setidaknya kentara dari penyusunan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), baru dibuat pada Desember 2004 lalu. Padahal kasus ini sudah mencuat sejak tahun 2001. “Ini membuat dugaan kita terhadap praktik backing kaum birokrat terhadap perusahaan makin kuat,” tegas Yan.


Memang bisa dimaklumi, karena kasus ini terjadi pada Bupati sebelumnya, sehingga ada keterputusan birokrasi dalam hal perijinan. Sebelumnya, Kepala Humas Pemkab Tangerang, Achmad Djabir menjelaskan, Bupati Ismet Iskandar tidak mengetahui ikhwal perijinannya.


Tetapi yang aneh, terkait dengan rekomendasi tertulis perintah Menteri LH ke Bupati, menurut Yan, sampai saat ini Bupati tidak pernah menerbitkan surat perintah kepada perusahaan untuk menghentikan proses reklamasi untuk pembangunan itu. “Jika ada niat baik, Pak Bupati harusnya menunjukkan surat itu. Tapi ini tidak, malah kami yang harus mengeceknya,” sesal Yan.


Lebih dari itu, ada satu hal yang perlu dijelaskan oleh Bupati Ismet. Yaitu terkait dengan perijinan AMDAL yang pernah dikeluarkan oleh Bupati sebelumnya yang kontroversial. Seperti diungkap Direktur Public Interest Environmental Lawyers (PIELS), Maulana Adam Humaidi, sisi kontroversial itu adalah pemahaman antara kawasan wisata dan perumahan yang rancu.


Dalam sejumlah surat permohonan, rekomendasi dan surat ijin yang dikeluarkan mantan Bupati Agus Djunara, bahwa ketiga perusahaan pereklamasi itu selalu menyebut-nyebut akan mengembangkan kawasan wisata pantai terpadu. Pada kenyataannya, dalam kerangka acuan amdal, dinyatakan bahwa mereka akan membangun Perumahan Pantai Mutiara Dadap. “Paling tidak, antara kawasan wisata dan perumahan. Itu jelas berbeda konsep,” kata Adam.


Ternyata masalah reklamasi pantai Dadap tak berhenti sampai disitu. Salah satunya terkait dengan beberapa tapal batas teritorial yang akan dibangun. Ada sejumlah kejanggalan dalam Kerangka Acuan AMDAL Pantai Dadap milik PT. Parung Harapan. Pada halaman muka disebutkan, wilayah pengembangannya adalah Desa Dadap dan Kosambi Timur. Namun pada halaman dalam disebutkan, pengembangan hunian tersebut meliputi Desa Kosambi Timur dan Barat.


Menurut Yan, itu mungkin saja terjadi karena salah satu perusahaan pengembang reklamasi tersebut diketuai oleh Kepala Desa Dadap sendiri, Dames Taufik. Ia khawatir bila hal yang sama terjadi dengan tiga perusahaan yang mengelola industri pariwisata itu: Bupati Ismet adalah pemilik tiga perusahaan itu. “Buktinya, Bupati Ismet tidak pernah menerbitkan surat perintah penghentian proyek reklamasi Pantai Dadap kepada ketiga perusahaan pengelola industri pariwisata tersebut,” kata Yan. Benarkah dugaan Yan? Biarlah keadilan yang menjawab. (Alfi Rahmadi)


Reklamasi Dadap