Sabtu, 18 Oktober 2008

Merendah Untuk Jalin Hubungan Harmonis Kabupaten/Kota

KEKECEWAAN Wakil Gubernur Banten, HM Masduki karena sering menyaksikan pejabat kabupaten dan kota yang tak hadir dalam berbagai rapat koordinasi menyiratkan persoalan kurang harmonisnya hubungan pemerintah provinsi (Pemprov) dengan pemerintah kabupaten (Pemkab) dan pemerintah kota (Pemkot). Ketidakharmonisan itu boleh jadi disebabkan ikatan yang “merenggang” setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengalami perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan.

Perubahan mendasar itu adalah terbitnya Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah atau sering disebutkan sebagai undang-undang otonomi daerah (UU Otda). Undang-undang ini direvisi dengan UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Dari kedua UU tersebut, yang tidak mengalami perubahan secara signifikan adalah pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang kini dilaksanakan secara langsung dipilih rakyat. Pilkada itu untuk gubernur dan wakilnya, bupati dan wakilnya serta walikota dan wakilnya. Berbeda dengan sebelumnya, pemilihan kepala daerah itu dilakukan oleh anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) setempat.

UU Pemerintahan Daerah ini memang menimbulkan hubungan yang tidak begitu erat antara pusat, provinsi dan kabupaten / kota sebagai akibat kepala daerah yang dipilih langsung rakyat. Misalnya Gubernur bukanlah atasan langsung bupati dan walikota. Hubungan kepala daerah ini bersifat koordinatif. Tak ada garis tegas dalam alur komando antara pusat, provinsi dan kabupaten / kota.

Dalam berbagai peristiwa di daerah muncul ke permukaan, antara kepala daerah tingkat provinsi dengan kabupaten dan kota sering bersitegang karena masing-masing merasa dipilih oleh rakyat. Bupati dan Walikota tak mau mengikuti kebijakan Gubernur karena kepentingannya saling berlawanan. Sementara Gubernur pun seringkali tak bisa mengakomodir kepentingan daerah. Secara berseloroh (bahkan bernada emosi) sering terlontar kata-kata,” Saya tidak bisa dipecat oleh Gubernur karena saya dipilih oleh rakyat,”.

Yang acapkali membuat publik terperangah, khususnya di Banten adalah pernyataan yang berisi tudingan bahwa Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten sudah menjadi kabupaten/kota ke-8. Ini berkaitan dengan program pembangunan atau kegiatan yang tercantum dalam APBD Banten dilaksanakan sendiri, tanpa mengikutsertakan kabupaten dan kota. Uang dikelola dan perusahaannya diatur sendiri. Padahal pertanyaan sederhana saja (sering menjadi dagelan) yang tak bisa dijawab, yaitu manakah wilayah provinsi itu? Setiap jengkal tanah pasti akan masuk salah satu dari 7 kabupaten dan kota.

Tidak heran, pejabat kabupaten dan kota merasa hanya sia-sia datang ke rapat koordinasi atau rapat-rapat lainnya. Berdasarkan pengalaman selama ini, berbagai usulan dan saran yang diajukan kabupaten dan kota tidak menampakan hasil apa-apa atau tidak bermanfaat bagi kabupaten dan kota. Bahkan terkesan sebelum rapat sebenarnya sudah terjadi konsensus atau hasil akhir yang akan diambil. Dan, yang pasti, keputusan itu sering tidak menguntungkan bagi kabupaten dan kota.

Karena itu disarankan agar pejabat Pemprov Banten, termasuk gubernur dan wakil gubernurnya mau legowo untuk membangun hubungan yang harmonis, serta menyadari betul bahwa hubungan provinsi-kabupaten/kota bukan hubungan atasan bawahan seperti yang terjadi pada era Orde Baru (Orba). Pejabat provinsi, terutama gubernur dan wakil gubernur mau menyambangi bupati dan walikota. Jika itu sudah dilakukan, kedua belah pihak berbicara satu meja dalam periode yang sudah ditentukan secara rutin. Singkirkanlah kepongahan sektoral yang mengukung selama ini. (**)


sumber: voice of banten