JAKARTA: Pemerintah dinilai masih gagal dalam upaya pemenuhan hak pendidikan bagi warga negara sesuai tujuan negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 dan amanat dari esensi UUD 1945.
Pasalnya, saat ini warga negara kelas menengah ke bawah harus menanggung beban berat dalam menikmati pendidikan dasar dan menengah, dan semakin sulit untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi (perguruan tinggi).
Hal itu dikemukakan staf pengajar Universitas Indonesia Faisal Basri dalam sebuah diskusi ‘Dialog Akademisi untuk Kemajuan Bersama’ di Jakarta, Rabu (15/8). Hadir pula, Wakil Rektor Universitas Bunda Mulia Once Kurniawan sebagai pembicara.
Faisal mengatakan, kegagalan itu merupakan ujung pangkal dari kebijakan negara yang lebih memilih sistem pasar bebas dalam pemenuhan pendidikan tinggi. "Hasilnya, kini yang terjadi adalah sulit sekali anak petani untuk melanjutkan kuliah," ujar Faisal.
Hal ini jelas berbeda, lanjut Faisal, ketika sebelum memasuki abad ke-21, yakni tingginya harapan dan impian bagi anak-anak kelas menengah ke bawah untuk melanjutkan pendidikan tinggi, ataupun menikmati pendidikan dasar dan menengah tanpa beban berat.
Untuk itu, menurut Faisal, yang terpenting bukanlah memperbesar anggaran pendidikan yang saat ini sudah mencapai 11,8 persen, tetapi seberapa besar komitmen pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, menjalankan amanat UUD 1945, yakni setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
"Yang terjadi saat ini sebaliknya. Justru ngotot untuk kenaikan anggaran pendidikan, sementara esensi amanat UUD 1945 tidak dijalankan. Padahal, dari anggaran yang ada, dua per tiganya hanya habis untuk kegiatan birokrasi, bukan untuk pemenuhan pendidikan bagi warga negara," jelas Faisal.
Faisal menambahkan hal ini bukan berarti pemerintah harus menggratiskan pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Yang harus diupayakan adalah memperluas akses kepada warga negara dari berbagi lapisan, untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu.
Sementara itu, Once Kurniawan menambahkan kegagalan pemenuhan hak pendidikan bagi warga negara itu juga diikuti oleh model pendidikan sebagian besar institusi pendidikan yang menempatkan peserta didik bukan sebagai subyek, melainkan sebagai obyek.
Dalam hal ini, lanjut Once, misalnya para guru dan dosen lebih menginstruksikan kepada peserta didik untuk banyak menghafal, ketimbang memberikan materi pelajaran yang merangsang peserta didik untuk menyelesaikan masalah.
"Akibatnya, banyak peserta didik, yang setelah lulus dari satuan pendidikan, tidak berhasil menjadi sumber daya manusia yang produktif dan kreatif, dan tidak menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar," ujar Once. (Dik/OL-06)
sumber: Media Indonesia Online
edisi: 15 Agustus 2007
Pasalnya, saat ini warga negara kelas menengah ke bawah harus menanggung beban berat dalam menikmati pendidikan dasar dan menengah, dan semakin sulit untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi (perguruan tinggi).
Hal itu dikemukakan staf pengajar Universitas Indonesia Faisal Basri dalam sebuah diskusi ‘Dialog Akademisi untuk Kemajuan Bersama’ di Jakarta, Rabu (15/8). Hadir pula, Wakil Rektor Universitas Bunda Mulia Once Kurniawan sebagai pembicara.
Faisal mengatakan, kegagalan itu merupakan ujung pangkal dari kebijakan negara yang lebih memilih sistem pasar bebas dalam pemenuhan pendidikan tinggi. "Hasilnya, kini yang terjadi adalah sulit sekali anak petani untuk melanjutkan kuliah," ujar Faisal.
Hal ini jelas berbeda, lanjut Faisal, ketika sebelum memasuki abad ke-21, yakni tingginya harapan dan impian bagi anak-anak kelas menengah ke bawah untuk melanjutkan pendidikan tinggi, ataupun menikmati pendidikan dasar dan menengah tanpa beban berat.
Untuk itu, menurut Faisal, yang terpenting bukanlah memperbesar anggaran pendidikan yang saat ini sudah mencapai 11,8 persen, tetapi seberapa besar komitmen pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, menjalankan amanat UUD 1945, yakni setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
"Yang terjadi saat ini sebaliknya. Justru ngotot untuk kenaikan anggaran pendidikan, sementara esensi amanat UUD 1945 tidak dijalankan. Padahal, dari anggaran yang ada, dua per tiganya hanya habis untuk kegiatan birokrasi, bukan untuk pemenuhan pendidikan bagi warga negara," jelas Faisal.
Faisal menambahkan hal ini bukan berarti pemerintah harus menggratiskan pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Yang harus diupayakan adalah memperluas akses kepada warga negara dari berbagi lapisan, untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu.
Sementara itu, Once Kurniawan menambahkan kegagalan pemenuhan hak pendidikan bagi warga negara itu juga diikuti oleh model pendidikan sebagian besar institusi pendidikan yang menempatkan peserta didik bukan sebagai subyek, melainkan sebagai obyek.
Dalam hal ini, lanjut Once, misalnya para guru dan dosen lebih menginstruksikan kepada peserta didik untuk banyak menghafal, ketimbang memberikan materi pelajaran yang merangsang peserta didik untuk menyelesaikan masalah.
"Akibatnya, banyak peserta didik, yang setelah lulus dari satuan pendidikan, tidak berhasil menjadi sumber daya manusia yang produktif dan kreatif, dan tidak menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar," ujar Once. (Dik/OL-06)
sumber: Media Indonesia Online
edisi: 15 Agustus 2007