Jambi- Korupsi bidang pendidikan di Indonesia hampir terjadi di semua level penyelenggaraan pendidikan dengan pola lama dan baru yang dilakukan unsur birokrasi dan sekolah.
Koordinator Indonesia Corruption Wacth (ICW), Teten Masduki mengatakan hal itu di Jambi, Selasa, pada Lokakarya jurnalistik dengan materi "Peliputan Masalah Pengembangan Pendidikan oleh Pemerintah Daerah" yang diselenggarakan Lembaga Pendidikan Dr Soetomo Jakarta bekerjasama dengan UNESCO.
Ia menambahkan, sekecil apapun dana pendidikan itu selalu menjadi target korupsi akibat pengawasan yang tidak berjalan efektif.
Bahkan dalam beberapa laporan dugaan korupsi di sekolah, Badan Pengawasan Daerah (Banwasda) justru "melindungi" rezim korup Dinas Pendidikan.
Lalu tidak ada inisiatif reformasi birokrasi untuk mencegah korupsi pendidikan. Mekanisme penyaluran dana pendidikan seperti Biaya operasional sekolah (BOS) juga rawan dimanipulasi.
Sementara institusi baru seperti Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan juga tidak berjalan efektif, karena didominasi birokrasi pendidikan dan kepala sekolah yang akhirnya komite sekolah malah melegitimasi berbagai pungutan di sekolah.
Korupsi dibidang pendidikan berlapis mulai lapis pertama hingga ke empat. Aktor lapis pertama adalah guru, kedua kepala sekolah, komite sekolah, pengawas, dan dinas, ketiga Dinas Pendidikan, dan lapis keempat Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Berbagai macam pungutan di sekolah selama ini bukan rahasia umum lagi seperti kasus SD Negeri di Jakarta pada 2003 dengan memungut, biaya raport, biaya sampul raport, biaya foto raport, biaya buku, biaya foto copy, sewa buku pelajaran, biaya mutasi guru, dan biaya kawinan guru.
"Pokoknya macam-macam pungutan di sekolah yang bisa dijadikan uang," ujarnya.
Sarana penunjang kegiatan belajar dan mengajar di Indonesia juga amat buruk, serta kelayakan/kompetensi guru/kepala sekolah yang tidak jelas.
Dari berbagai persoalan itu bagaimana mungkin kualitas pendidikan Indonesia bisa maju, sebab semua dana pendidikan dikorupsi.
Untuk mewujudkan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN/APBD hingga kini tidak berjalan. Skema pada 2006 dibuat 12,01 persen tetapi kenyataan hanya 8,1 persen (Rp36 triliun).
Pemerintah daerah hingga kini juga belum mengalokasikan 20 persen dana APBD untuk pendidikan. Ironisnya jika untuk membiayai tunjangan DPRD (dalam kasus PP37/2006 yang kontroversial) itu malah cepat dikucurkan, kata Teten.
Karena itu media/wartawan amat berperan mendorong partisipasi publik dalam penyusunan APBN/APBD untuk memenuhi alokasi anggaran pendidikan yang ideal, serta memperkuat pilar tata kelola pendidikan seperti dewan pendidikan dan komite sekolah. antara/abi
sumber: Republika Online
edisi: 04 September 2007
Koordinator Indonesia Corruption Wacth (ICW), Teten Masduki mengatakan hal itu di Jambi, Selasa, pada Lokakarya jurnalistik dengan materi "Peliputan Masalah Pengembangan Pendidikan oleh Pemerintah Daerah" yang diselenggarakan Lembaga Pendidikan Dr Soetomo Jakarta bekerjasama dengan UNESCO.
Ia menambahkan, sekecil apapun dana pendidikan itu selalu menjadi target korupsi akibat pengawasan yang tidak berjalan efektif.
Bahkan dalam beberapa laporan dugaan korupsi di sekolah, Badan Pengawasan Daerah (Banwasda) justru "melindungi" rezim korup Dinas Pendidikan.
Lalu tidak ada inisiatif reformasi birokrasi untuk mencegah korupsi pendidikan. Mekanisme penyaluran dana pendidikan seperti Biaya operasional sekolah (BOS) juga rawan dimanipulasi.
Sementara institusi baru seperti Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan juga tidak berjalan efektif, karena didominasi birokrasi pendidikan dan kepala sekolah yang akhirnya komite sekolah malah melegitimasi berbagai pungutan di sekolah.
Korupsi dibidang pendidikan berlapis mulai lapis pertama hingga ke empat. Aktor lapis pertama adalah guru, kedua kepala sekolah, komite sekolah, pengawas, dan dinas, ketiga Dinas Pendidikan, dan lapis keempat Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Berbagai macam pungutan di sekolah selama ini bukan rahasia umum lagi seperti kasus SD Negeri di Jakarta pada 2003 dengan memungut, biaya raport, biaya sampul raport, biaya foto raport, biaya buku, biaya foto copy, sewa buku pelajaran, biaya mutasi guru, dan biaya kawinan guru.
"Pokoknya macam-macam pungutan di sekolah yang bisa dijadikan uang," ujarnya.
Sarana penunjang kegiatan belajar dan mengajar di Indonesia juga amat buruk, serta kelayakan/kompetensi guru/kepala sekolah yang tidak jelas.
Dari berbagai persoalan itu bagaimana mungkin kualitas pendidikan Indonesia bisa maju, sebab semua dana pendidikan dikorupsi.
Untuk mewujudkan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN/APBD hingga kini tidak berjalan. Skema pada 2006 dibuat 12,01 persen tetapi kenyataan hanya 8,1 persen (Rp36 triliun).
Pemerintah daerah hingga kini juga belum mengalokasikan 20 persen dana APBD untuk pendidikan. Ironisnya jika untuk membiayai tunjangan DPRD (dalam kasus PP37/2006 yang kontroversial) itu malah cepat dikucurkan, kata Teten.
Karena itu media/wartawan amat berperan mendorong partisipasi publik dalam penyusunan APBN/APBD untuk memenuhi alokasi anggaran pendidikan yang ideal, serta memperkuat pilar tata kelola pendidikan seperti dewan pendidikan dan komite sekolah. antara/abi
sumber: Republika Online
edisi: 04 September 2007