TANGERANG - Penilaian kalangan DPRD Kabupaten Tangerang soal pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Desa Lontar, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang yang menyalahi Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ternyata benar. Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Kabupaten Tangerang Taufik Emil mengakui kalau pembangunan PLTU itu mengabaikan Perda RTRW.
Pengabaian Perda itu, menurut Taufik, sengaja dilakukan karena mengacu pada ketentuan yang lebih tinggi, yakni Perpres Nomor 71 Tahun 2006 tentang Penugasan kepada PT PLN Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara. “Kami sengaja mengeluarkannya lebih dulu, untuk membantu proses perizinan PLTU yang berkapasitas 3X300 megawatt tersebut,” kata Taufik, Selasa (11/3).
Menurutnya, pemda lain yang wilayahnya juga mendapat proyek yang sama “berani” mengeluarkan izin penggunaan ruang (IPR) meski harus melanggar Perda setempat, seperti di Suralaya, Labuan, Rembang, dan Bojonegoro. “Coba saja Anda cek ke bupati di daerah itu, sama juga. Pasti mereka juga melakukan hal yang serupa dengan kita,” kilahnya.
Taufik menjelaskan, lokasi PLTU ini sebelumnya direncanakan berlokasi di Teluknaga. Namun, terpaksa digeser ke Desa Lontar, Kecamatan Kemiri, karena pengelola Bandara Soekarno-Hatta, yakni PT Angkasa Pura II menolaknya. Sebab, berada di kawasan keselamatan operasi penerbangan.
“Karena cerobong asapnya mencapai 150 meter, sehingga dikhawatirkan akan mengganggu pengelihatan serta mengganggu jalur penerbangan, dan kami dapat memakluminya,” katanya. Belajar dari proses perubahan lokasi itu, pihaknya mengakui relokasi PLTU tersebut bisa dimungkinkan, asalkan ada proses pengkajian yang dalam.
Di tempat terpisah, Koordinator LSM Lembaga Independen Pemantau Aparat Negara (Lipan) Banten Tatang Sago meminta agar proyek ini ditinjau kembali. Sebab, proses perizinannya syarat akan penyimpangan. “Jika awalnya sudah tidak benar, sudah pasti ke sananya akan merugikan masyarakat setempat. Sebab belum apa-apa saja mereka (Pemkab) sudah berani melanggar hukum yang dibuatnya sendiri,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Pansus Perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah DPRD Kabupaten Tangerang Syahrifullah geram menyoroti persoalan proyek tersebut. Menurutnya, pihak legislatif tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan proyek PLTU senilai Rp 8 triliun itu. “Untuk apa ada Perda kalau yang melanggar mereka (pemerintah-red) juga. Kalau begini nggak perlu ada pemda dan aturan saja sekalian,” ujarnya.
Untuk itu, DPRD berencana seusai pembahasan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) akan memanggil pihak-pihak terkait. “Kita tidak akan tinggal diam begitu saja, semua pihak terkait akan kita panggil,” tandas anggota DPRD yang sejak semula gencar menuding proyek ini melanggar Perda RTRW.
Sebelumnya, Juru Bicara Pemkab Tangerang Zaenal Arifien yang mengutip penjelasan Kepala Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Pemkab Tangerang Didin Samsudin menilai, secara prinsip rencana pembangunan PLTU itu tak masalah. Sebab, saat ini Pemkab Tangerang tengah mengajukan usulan Raperda Perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah. (adr/dai)
sumber: harian RADAR BANTEN
edisi: 12 Maret 2008
Reklamasi Dadap
Pengabaian Perda itu, menurut Taufik, sengaja dilakukan karena mengacu pada ketentuan yang lebih tinggi, yakni Perpres Nomor 71 Tahun 2006 tentang Penugasan kepada PT PLN Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara. “Kami sengaja mengeluarkannya lebih dulu, untuk membantu proses perizinan PLTU yang berkapasitas 3X300 megawatt tersebut,” kata Taufik, Selasa (11/3).
Menurutnya, pemda lain yang wilayahnya juga mendapat proyek yang sama “berani” mengeluarkan izin penggunaan ruang (IPR) meski harus melanggar Perda setempat, seperti di Suralaya, Labuan, Rembang, dan Bojonegoro. “Coba saja Anda cek ke bupati di daerah itu, sama juga. Pasti mereka juga melakukan hal yang serupa dengan kita,” kilahnya.
Taufik menjelaskan, lokasi PLTU ini sebelumnya direncanakan berlokasi di Teluknaga. Namun, terpaksa digeser ke Desa Lontar, Kecamatan Kemiri, karena pengelola Bandara Soekarno-Hatta, yakni PT Angkasa Pura II menolaknya. Sebab, berada di kawasan keselamatan operasi penerbangan.
“Karena cerobong asapnya mencapai 150 meter, sehingga dikhawatirkan akan mengganggu pengelihatan serta mengganggu jalur penerbangan, dan kami dapat memakluminya,” katanya. Belajar dari proses perubahan lokasi itu, pihaknya mengakui relokasi PLTU tersebut bisa dimungkinkan, asalkan ada proses pengkajian yang dalam.
Di tempat terpisah, Koordinator LSM Lembaga Independen Pemantau Aparat Negara (Lipan) Banten Tatang Sago meminta agar proyek ini ditinjau kembali. Sebab, proses perizinannya syarat akan penyimpangan. “Jika awalnya sudah tidak benar, sudah pasti ke sananya akan merugikan masyarakat setempat. Sebab belum apa-apa saja mereka (Pemkab) sudah berani melanggar hukum yang dibuatnya sendiri,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Pansus Perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah DPRD Kabupaten Tangerang Syahrifullah geram menyoroti persoalan proyek tersebut. Menurutnya, pihak legislatif tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan proyek PLTU senilai Rp 8 triliun itu. “Untuk apa ada Perda kalau yang melanggar mereka (pemerintah-red) juga. Kalau begini nggak perlu ada pemda dan aturan saja sekalian,” ujarnya.
Untuk itu, DPRD berencana seusai pembahasan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) akan memanggil pihak-pihak terkait. “Kita tidak akan tinggal diam begitu saja, semua pihak terkait akan kita panggil,” tandas anggota DPRD yang sejak semula gencar menuding proyek ini melanggar Perda RTRW.
Sebelumnya, Juru Bicara Pemkab Tangerang Zaenal Arifien yang mengutip penjelasan Kepala Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Pemkab Tangerang Didin Samsudin menilai, secara prinsip rencana pembangunan PLTU itu tak masalah. Sebab, saat ini Pemkab Tangerang tengah mengajukan usulan Raperda Perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah. (adr/dai)
sumber: harian RADAR BANTEN
edisi: 12 Maret 2008
Reklamasi Dadap